Bacalah kutipan teks novel sejarah “Gajah Mada Bergelut
dalam Takhta dan Angkara” berikut ini untuk menjawab soal nomor 1—5!
Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara
...
Cerita
macam itu berkembang ke arah salah kaprah. Entah siapakah yang bercerita, kabut
tebal itu memang disengaja oleh para dewa kayangan agar wajah cantik para
bidadari yang turun dari kayangan melalui pelangi jangan sampai dipergoki
manusia. Para bidadari itu turun untuk memberikan penghormatan kepada satu-
satunya wanita di dunia yang terpilih sebagai Sang Ardhanareswari, yang berarti
wanita utama yang menurunkan raja- raja besar di tanah Jawa ini. Maklum,
sebagai Ardhanareswari, Ken Dedes adalah titisan dari Padnya Paramita, dewi
ilmu pengetahuan. Apa benar kabut tebal itu turun karena para bidadari turun
dari langit? Gajah Mada tidak bisa menyembunyikan senyumnya dari kenangan kakek
tua, yang menuturkan cerita itu dan mengaku memergoki para bidadari itu, lalu
mengambil salah seorang di antara mereka menjadi istrinya. Gajah Mada ingat,
anak kakek tua itu perempuan semua dan jelek semua, sama sekali tidak ada
pertanda titisan bidadari.
“Mirip
cerita Jaka Tarub saja,” gumam Gajah Mada sekali lagi untuk diri sendiri. “Lagi
pula , setahuku tidak pernah ada pelangi di malam hari. Pelangi itu munculnya
selalu siang dan ketika sedang turun hujan lagi.”
Labih jauh
soal kabut tebal pula, konon ketika Calon Arang, si perempuan penyihir dari
Ghirah marah dan menebar tenung, kabut amat tebal membawa penyakit turun tak
hanya di wilayah tertentu. Namun, meraya di seluruh negara, menyebabkan Prabu
Airlangga dan Patih Narottama kebingungan dan terpaksa minta bantuan kepada
Empu Barada untuk meredam sepak terjang wanita menakutkan itu. Empu Barada
benar- benar sakti. Empu itu menebas pelepah daun keluwih yang melayang terbang
ketika dibacakan japa mantra. Beralaskan pelepah dauh itulah, Empu Barada
terbang membumbung ke langit dan memperhatikan seberapa luas kabut pembawa
tenung dan penyakit. Empu Barada melihat, ampak ampak pedhut itu memang sangat
luas dan menelan luas segara dari ujung ke ujung. Untunglah cahaya Hyang Bagaskara
yang datang di pagi harinya mampu mengusir kabut itu menjauh tanpa tersisa
jejaknya sedikit pun.
“Hanya
sebuah dongeng,” gumam gajah Mada untuk diri sendiri. Kabut tebal itu memang
mengurangi jarak pandang dan mengganggu siapa pun untuk mengetahui keadaan di
sekitarnya. Ketika sebelumnya siapa pun tak sempat memikirkan, itulah saatnya
saiapa pun mendadak merasakan bagaimana menjadi orang buta yang tidak bisa
melihat apa- apa. Pada wilayah yang kabutnya benar- benar tebal, untuk
mengenali benda- benda di sekitarnya harus dengan meraba- raba.
Akan
tetapi tudak demikian dengan anjing yang menggonggong sahut- sahutan ramai
sekali. Apa yang dilakukan anjing itu, laporannya akhirnya sampai ke telinga
Gajah Mada. Gajah Enggon yang meminta izin untuk bertemu segera melepas
warastra, sanderan dengan ciri- ciri khusus yang dibalas Gajah Mada dengan anak
panah yang sama melalui isyarat pula. Dari jawaban anak panah itu, Gajah Enggon
dan Gagak Bongol mengetahui di mana Gajah Mada berada. Gagak Bongol dan Enggon
segera melaporkan temuannya.
“Ditemukan
mayat lagi, Kakang Gajah,” Gajah Enggon melaporkan. Gajah Mada memandangi wajah
samar- samar di depannya. “Mayat siapa?”
“Prajurit
bernama Klabang Gendis mati dengan anak panah menancap tepat di tenggorokannya.
Tak ada jejak perkelahian apa pun, sasaran menjadi korban tanpa menyadari
bidikan anak panah tertuju kepadanya.”
Gajah Mada
merasa tak nyaman memperoleh laporan itu. Orang yang mampu melepas anak panah
dengan sasaran sulit pastilah orang yang sangat menguasai sifat gendewa dan
anak panahnya. Orang yang mampu melakukan hal khusus semacam itu amat terbatas
dan umumnya ada di barisan pasukan hayangkara. Adakah prajurit Bhayangkara yang
terlibat?
“Dan kami
temukan mayat kedua,” Gagak Bongol menambahkan.
“Pelaku
pembunuhan banak panah itu mati dipatuk ular. Mayatnya dicabik- cabik beberapa
ekor anjing. Pembunuhan yang terbunuh ini, menyisakan jejak rasa kecewa di hati
kita, Kakang. Aku tahu, Kakang Gajah pasti kecewa mengetahui siapa dia?”
Gajah Mada
menengadah mamandang langit. Namun, tak ada apa pun yang tampak kecuali warna
pedhut yang makin menghitam legam.
“Bhayangkara?”
“Ya,” jawab
gagak Bongol. “Siapa?” lanjut Gajah Mada.
Gagak Bongol
dan Senopati Gajah Enggon tidak segera menjawab dan memberikan kesempatan
kepada patih Daha Gajah Mada untuk menemukan sendiri jawabannya. Namun,
pembunuhan yang mati dipatuk ular itu tentu berada di barisan yang tersisa dari
nama- nama prajurit Bhayangkara yang pernah dipimpinnya. Nama- nama itu adalah
Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumpang, Jabaya,
Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Gajah Enggon, Macan
Liwung, dan gagak Bongol. Panji Saprang yang berkhianat dan menjadi kaki tangan
Rakrian Kuti mati dibunuh Gajah Mada di terowongan bawah tanah ketika pontang-
panting menyelamatkan Sri Jayanegara. Bhayangkara Risang Panjer Lawang gugur di
Mojoagung, dibunuh dengan cara licik oleh pengkhianat kaki tangan Ra Kuti.
Selanjutnya, Mahisa Kingkin terbunuh oleh Gagak Bongol sebagai korban fitnah di
Hangawiyat. Terakhir, Singa Parepen atau Bango Lumayang yang berkhianat mati
dibunuh oleh Bedander ketika kamanungsan sebagai pengkhianat.
...
Setelah
membaca kutipan novel sejarah “Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara”
tersebut, jawablah pertanyaan- pertanyaan berikut!
1.
Kapankah latar waktu cerita dalam kutipan novel
sejarah di atas dibuat?
2.
Di manakah latar dalam kutipan novel sejarah
tersebut dibuat?
3.
Peristiwa apa sajakah yang dikisahkan?
4.
Siapa sajakah tokoh yang terlibat dalam
penceritaan?
5.
Di bagian apa sajakah yang menandakan bahwa
novel tersebut tergolong ke dalam novel sejarah?
6.
Jelaskan persamaan novel sejarah dengan teks
sejarah?
7.
Jelaskan perbedaan noel sejarah dengan teks
sejarah?
Sumber: Maman Suryaman, dkk, Bahasa Indonesia XII, Puskurbuk Balitbang Kemdikbud