Jumat, 04 September 2020

Analisis Struktur dan Kaidah Kebahasaan Teks Cerita Sejarah (Uraian Materi dan Latihan) BINDO KELAS XII

Uraian Materi dan Tugas ini bersumber dari buku Suherli dkk. Bahasa Indonesia Kelas XII Puskurbuk Kemdikbud dan dari Kosasih "Cerdas Berbahasa Indonesia kelas XII". Materi ini dishare di sini untuk membantu siswa dan guru dalam pembelajaran teks cerita sejarah.

URAIAN MATERI

Mengidentifikasi Struktur Teks Cerita Sejarah


Struktur teks cerita sejarah adalah sebagai berikut:

1.    Pengenalan situasi cerita (orientasi, exposition)

Pada bagian pengenalan situasi cerita, pengarang memperkenalkan setting cerita baik waktu, tempat, maupun peristiwa. Selain itu, orientasi juga dapat disajikan dengan mengenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh.

 

2.    Pengungkapan peristiwa

Dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran- kesukaran bagi para tokohnya.

 

3.    Menuju konflik (rising action)

Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

 

4.    Puncak Konflik (turning point, komplikasi)

Bagian ini disebut pula dengan klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentykan perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya, apakah dia kemudian berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.

 

5.    Penyelesaian (evaluasi, resolusi)

Bagian ini berisi penjelasan ataupun penilaian tentang sikap ataupun nasib- nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Pada bagian ini pun sering pula dinyatakan wujud akhir daari kondisi ataupun nasib akhir tokoh utamanya.

 

6.    Koda

Bagin ini berupa komentar terhadap keseluruhan isi cerita yang fungsinya sebagai penutup. Komentar yang dimaksud bisa disampaikan langsung oleh pengarang atau dengan mewakilkan pada seorang tokoh. Namun, tidak setiap novel memiliki koda, bahkan novel- novel modern lebih banyak menyerahkan simpulan akhir cerita itu kepada para pembacanya. Mereka dibiarkan menebak- nebak sendiri penyelesaian ceritanya.

 

Contoh analisis struktur novel sejarah “Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara”

1.   Orientasi

Duka membayang di kaki langit, duka sekali lagi membungkus mata hati.

...

Ada banyak hal yang dicatat, banyak sekali kesedihan. Kesedihan kali ini terjadi bagai pengulangan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulis berdasar kisah yang dituturkan ayahnya, Samenaka, karena peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa. Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun- alun. Semua berdoa, apapun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha, maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga terlalu ketat. Segenap perajurit bersikap sangat ramah kepada siapapun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana (h.3-4)

 

2.  Pengungkapan Peristiwa

Dan ketika Bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yanh getar suaranya mampu menggapai sudut- sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu.

 

Namun, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.

 

Di bilik pribadinya, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang ketika muda sangat dikenal dengan sebutan Raden Wijaya membeku. Empat dari lima istrinya meledakkan tangis (h.4)

 

3.  Menuju Konflik

Yang mencuri perhatian kali ini bukan hanya soal desas- desus itu, Sepeninggal Kalegemet Sri Jayanegara dengan segera muncul pertanyaan, siapa yang akan naik takhta menggantikannya.

 

Dua pewaris yang masing- masing berwajah cantik itu memang bersih, tetapi apa yang terlihat tidak sesederhana yang tampak. Pancaksara bahkan melihat persaingan amat tajam bakal terjadi, terutama riuhnya barisan orang- orang di belakang Kudamerta dan barisan orang- orang.

 

4.  Puncak Konflik

“Siapa yang terbunuh di Bale Gringsing?”

“Lurah Prajurit Ajar Langse,” jawab Bhayangkara Macan Liwung. Gajah Mada menarik napas lega setelah mengetahui bukan Gajah Enggon yang terbunuh di Bale Grinsing. Akan tetapi, bahwa pemunuhan itu terjadi di tempat itu membuat Gajah Mada penasaran. Apalagi yang terbuh adalah Ajar Langse yang belum lama berpapasan dengannya.

 

5.  Resolusi

Balai prajurit ramai sekali. Berita mengenai ditangkapnya pemimpin orang- orang yang berniat melakukan makar dengan cepat menyebar. Ketika melintas Pasar Daksina prajurit Bhayangkara yang membawa pulang pemimpin pemberintak yang tertangkap di Karang Watu, maka dengan segera berita itu menyebar ke penjuru kota. Lebih- lebih ketika hari merambat siang, tawanan dalam jumlah lebih banyak diangkaut dengan kereta kuda menuju kotaraja di bawah pengawalan gabungan pasukan Jalapati dan Sapu Bayu.

 

6.  Koda

Dyah menur berbalik dengan memejamkan kata. Dyar Menur Hardiningsih yang menggendong anaknya dan Pradhabasu yang juga menggendeng anaknya, berjalan makin menjauh dan makin jauh ke arah surya di langit barat. Dan sang waktu sebagaimana kodratnya akan mengantarkan ke mana pun mereka melangkah. Sang waktu pula yang menggilas semua peristiwa menjadi masa lalu.

 

 

 

URAIAN MATERI

Kaidah Kebahasaan Teks Cerita Sejarah


Kaidah kebahasaan teks cerita sejarah

Kaidah atau ciri kebahasaan teks sejarah di antaranya sebagai berikut!

1.    Menggunakan kata yang bermakna tindakan atau perbuatan. Kata- kata tersebut menggambarkan rangkaian peristiwa yang dilakukan pelaku sejarahnya. Contoh: berlatih, berlabuh, meluaskan, dipanggil, dirah.

2.    Banyak menggunakan keterangan tempat dan waktu. Contoh: Kerajaan yang bercorak Islam pertama di Sulawesi berdiri di daerah  Makassar. Ada dua kerjaan di sana: kerjaan Gowa dan kerajaan Tallo. Pada abad ke-17, raja kerajaan tersebut memeluk agama Islam.

3.    Banyak menggunakan konjungsi temporal. Contoh: kemudian, lalu, setelah itu

4.    Banyak menggunakan konjungsi kausalitas (sebab akibat). Contoh: karena, sebab, oleh karena itu, oleh sebab itu.

 

LATIHAN

Latihan Mengidentifikasi Struktur dan Kaidah Kebahasaan Teks Cerita Sejarah

Petunjuk Siswa:

Bacalah peggalan novel “Mangir” karya Pramoedya Ananta Toer ini kemudian:

1. Analisislah struktur novel tersebut (tentukan bagian mana yang merupakan orientasi, pengungkapan peristiwa, menuju konlik, puncak konflik, resolusi, dan koda)!

2. Temukanlah kalimat yang di dalamnya terdapat:

    a. Kata yang bermakna tindakan,

    b. Keterangan waktu dan tempat,

    c. kojungsi temporal,

    d. konjungsi kausalitas.

Mangir

Karya: Pramoedya Ananta Toer

            Di bawah bulan malam ini, tiada setitik pun awan di langit. Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Dengan cepat, ia naik dari kaki langit, mengunjungi segala dan semua tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut, juga hewan, dan manusia. Langit jernih, bersih, dan terang. Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya gelisah, resah, seakan- akan manusia tak lagi membutuhkan ketenteraman lagi.

 

Abad Keenam Belas Masehi

            Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu gelisah. Ombak- ombak besar gerulung- gulung memanjang terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan utiara-semua-dikuningi oleh cahaya bulan. Angin meniup tenang. Ombak- ombak makin menggila.

            Sebuah kapan peronda pantai meluncur dengan kecepatan tiggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, timbul- tenggelam di antara ombak- ombak purnama yang menggila. Layar kemudi haluan menggelembung membikin lunas menerjang serong gunung- gunung air itu- serong ke barat laut. Barisa dayung pada diding kapal berkayuh berirama seperti kaki- kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.

            Sang Patih berhenti di tengah- tengah pendopo, dekat pada damarsewu, menegur, “Dingin- dingin begini anakanda datang. Pasti ada sesuatu yang keluarbiasaan. Mendekat sini, anakanda.” Dan Patragading berjalan mendekat dengan lutuutnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki Sang Patih. “ Ampuni patik, membangunkan paduka pada malam buta begini Kabar duka , Paduka. Balatentara Demak di bawah Adipati Kudus memasuki Jepara tanpa diduga- duga, menyalahi aturan perang.”

            “Allah Dewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan aturan raja- raja! Itu aturan brandarl!”

“Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka.”

             “Bagaimana Bupati Jepara?”

            “Tewas enggan menyerah Paduka,” Patragading mengangkat sembah. “Sisa balatentara Tuban mundur ke timur kota. Jepara penuh dengan balatentara Demak. Lebih dari tiga ribu orang.”

            “Begitulah kata warta,” [ada meneruskan dengan hati- hati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.”

            “Disambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan batu- batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk dia oleh Batara Kala!” Tiba- tiba suaranya turun mengiba-iba: “Apa lagi artinya pengabdian? Aku pergi! Jangan dicari. Tak perlu dicari!” Meraung.

            Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran depan. Diangkatnya tangga dan dengan melangkahi pagar papan kau. Dari balik pagar orang berseru- seru, “Lar dari asrama! Lari!”

            Mula- mula pertikaian berkisar pada kelakukan Trenggono yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri, kemudian diperkuat oleh sikapnya yang plos terhadap peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyataka sikap menentang usaha Portugis yang sudah mulai melakukan perdagangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati lagi telah bermusyawarah dan membantuk utusan untuk menghadap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan Demak dan musafir.

            Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian, merka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para musafir mengagungkan Demak karena keagungannya memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar peninggalan Unus, yang telah dua tahun disiapkan kalau bukan untuk mengusir Portugis dan dengan demikia terjamin dan melindungi Demak sebagai negeri Islam pertama- tama di Jawa? Masuknya Peranggi ke Jawa berarti ancaman langsung terhadap Islam. Kalau Trenggono tetap tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan islam.

...

            Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir: antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan pertanyaan kemudian yang timbul: Adakah Sultan akan mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana ia telah melakukannnya terhadap abang kandungnya.

            Pangeran Seda Lepen? Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan prihatin teradap keselamatan wanitu tua itu. Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan terhadap ibunya. Ia makin keranjingan membangun pasukan daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada di tengah- tengah pasukan kuda kebaggannya, baik dalam latihan, sodor, maupun ketangkasan berpacu samba memainkan pedang menghajar boneka digantungkan pada sepotong kayu.. Ia sendiri ikut dalam latihan- latihan ini.

            Dan dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia berkata secara terbuka, “Tak ada yang lebih ampuh daripada pasukan kuda. Lihat, kawula kami semua!” Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan merubungnya, semua di atas kuda masing- masing.

            “Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke bumi, ingat- ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada satu tapak kaki orang Peranggi pun tampak. Juga tapak- tapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.” Seluruh Tuban kembali dalam ketengan dan kedamaian kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin pasukan gajah, Nama barunya Wirabumi. Panggilan yang lengkap : Gusti Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan sebagai patih, ia masih tetap memimpin pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam sebutan. Pasar kota dan pasar bandar ramai kembali seperti sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin, pulih kembali. Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal- kapal Tuban mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di Malaka ataupaun Pasai.

           

SUMBER

Suherli, 2018. Bahasa Indonesia Kelas XII. Puskurbuk Kemdikbud.

Kosasih. 2019. Cerdas Berbahasa Indonesia Kelas XII. Erlangga 

dengan pebambahan seperlunya.


5 komentar: